UNESCO Institute for Lifelong Learning (UIL), sebuah lembaga yang berfokus pada pembelajaran sepanjang hayat, menetapkan program dan strategi penuntasan tunaaksara di Indonesia sebagai role modelatau contoh bagi pengentasanpenduduk niraksarabagi negara-negara lain. Hal ini karena penduduk dewasa niraksara di Indonesia dari waktu ke waktu secara konsisten terus menurun, termasuk disparitas gender.
Penduduk Niraksara Dewasa Tahun 2005-2012
Dalam rangka memperingati hari Aksara internasional pada tanggal 20 September 2013, UNESCO Institute for Lifelong Learning (UIL) meluncurkan Laporan Global Pendidikan dan Pembelajaran Orang Dewasa II atau Second Global Report on Adult Learning and Education (GRALE II) di Jakarta. Penunjukkan Indonesia sebagai tempat peluncuran resmi GRALE II yang dihadiri oleh perwakilan 19 negara, menunjukkan kehormatan dan penghargaan secara nyata dalam pendidikan orang dewasa.
Kehormatan yang diterima Indonesia ini menyusul penghargaan yang diterima Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tepatnya lagi melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI), pada September 2012 lalu, yakni penghargaan UNESCO King Sejong Literacy Prize, juga oleh UNESCO di Paris, Perancis, dalam peringatan Hari Aksara Internasional.
Penghargaan UNESCO ini cukup beralasan karena dalam tingkat keaksaraan Indonesia berada pada posisi yang cukup baik bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Kurangi Disparitas
Terlepas dari keberhasilan nasional, ternyata terdapat disparitas antarprovinsi dan antarkabupaten. Pada tahun 2012, terdapat 11 provinsi yang persentase keaksaraan dan disparitas gendernya di atas rata-rata nasional. Disparitas gender yang paling tajam terdapat pada provinsi Papua, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk niraksara (34,38%) yang sangat jauh di atas rata-rata nasional (4,21%). Selain itu, terdapat kantong-kantong niraksara pada 33 kabupaten dengan penduduk niraksara di atas 50 ribu orang dan kawasan tertinggal, terpencil dan terdepan (3T).
Disparitas tersebut terutama disebabkan karena kondisi tersulit penduduk niraksara secara geografis, ekonomi, usia, bahasa dan etnisitas. Mereka kurang mempunyai akses terhadap pembelajaran keaksaraan yang bermutu dan bahan bacaan. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan di antaranya merupakan bagian dari etnisitas khas danada pula yang berada di daerah rawan konflik.
Untuk mengurangi disparitas tersebut, dilakukan afirmasi perluasan akses terhadap pembelajaran dan bahan ajar keaksaraan yang relevan dengan mengintegrasikan kewirausahaan, kecakapan hidup, pemberdayaan perempuan dan peningkatan budaya baca, serta yang secara kontekstual berbasis kelokalan, bahasa ibu dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Sama pentingnya adalah afirmasi peningkatan kecakapan hidup bagi remaja niraksara.
Secara khusus dilakukan afirmasi pendidikan keaksaraan responsif Papua dan Papua Barat dengan alokasi anggaran Rp 19,24 milyar dari APBN untuk . Direktorat Pembinaan Pendidikan masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal juga bersinergi dengan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) demi percepatan pengentasan niraksara di kedua provinsi tersebut.
Sumber: Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar